Powered By Blogger

Senin, 07 Juni 2010

HATI SEORANG AYAH

Suatu ketika, ada seorang anak wanita bertanya kepada
Ayahnya, tatkala tanpa sengaja dia melihat Ayahnya sedang mengusap
wajahnya yang mulai berkerut-merut dengan badannya yang terbungkuk-
bungkuk, disertai suara batuk-batuknya. Anak wanita itu bertanya
pada ayahnya: Ayah , mengapa wajah Ayah kian berkerut-merut dengan
badan Ayah yang kian hari kian terbungkuk?” Demikian pertanyaannya,
ketika Ayahnya sedang santai di beranda.

Ayahnya menjawab : “Sebab aku Laki-laki.” Itulah jawaban
Ayahnya. Anak wanita itu berguman : ” Aku tidak mengerti.”

Dengan kerut-kening karena jawaban Ayahnya membuatnya tercenung rasa
penasaran. Ayahnya hanya tersenyum, lalu dibelainya rambut anak
wanita itu, terus menepuk nepuk bahunya, kemudian Ayahnya
mengatakan : “Anakku, kamu memang belum mengerti tentang Laki-laki.”
Demikian bisik Ayahnya, membuat anak wanita itu tambah kebingungan.

Karena penasaran, kemudian anak wanita itu menghampiri
Ibunya lalu bertanya :”Ibu mengapa wajah ayah menjadi berkerut-merut
dan badannya kian hari kian terbungkuk? Dan sepertinya Ayah menjadi
demikian tanpa ada keluhan dan rasa sakit?”

Ibunya menjawab: “Anakku, jika seorang Laki-laki yang benar
benar bertanggung jawab terhadap keluarga itu memang akan demikian.”
Hanya itu jawaban Sang Bunda.

Anak wanita itupun kemudian tumbuh menjadi dewasa, tetapi
dia tetap saja penasaran.

Hingga pada suatu malam, anak wanita itu bermimpi. Di dalam mimpi
itu seolah-olah dia mendengar suara yang sangat lembut, namun jelas
sekali. Dan kata-kata yang terdengar dengan jelas itu ternyata suatu
rangkaian kalimat sebagai jawaban rasa penasarannya selama ini.

“Saat Ku-ciptakan Laki-laki, aku membuatnya sebagai pemimpin
keluarga serta sebagai tiang penyangga dari bangunan keluarga, dia
senantiasa akan menahan setiap ujungnya, agar keluarganya merasa
aman teduh dan terlindungi. “

“Ku-ciptakan bahunya yang kekar & berotot untuk membanting
tulang menghidupi seluruh keluarganya & kegagahannya harus cukup
kuat pula untuk melindungi seluruh keluarganya. “

“Ku-berikan kemauan padanya agar selalu berusaha mencari
sesuap nasi yang berasal dari tetesan keringatnya sendiri yang halal
dan bersih, agar keluarganya tidak terlantar, walaupun seringkali
dia mendapatkan cercaan dari anak-anaknya. “

“Kuberikan Keperkasaan & mental baja yang akan membuat
dirinya pantang menyerah, demi keluarganya dia merelakan kulitnya
tersengat panasnya matahari, demi keluarganya dia merelakan badannya
basah kuyup kedinginan karena tersiram hujan dan hembusan angin, dia
relakan tenaga perkasanya terkuras demi keluarganya & yang selalu
dia ingat, adalah disaat semua orang menanti kedatangannya dengan
mengharapkan hasil dari jerih payahnya.”

“Ku berikan kesabaran, ketekunan serta keuletan yang akan
membuat dirinya selalu berusaha merawat & membimbing keluarganya
tanpa adanya keluh kesah, walaupun disetiap perjalanan hidupnya
keletihan dan kesakitan kerap kali menyerangnya. “

“Ku berikan perasaan keras dan gigih untuk berusaha berjuang
demi mencintai & mengasihi keluarganya, didalam kondisi & situasi
apapun juga, walaupun tidaklah jarang anak-anaknya melukai
perasaannya melukai hatinya. Padahal perasaannya itu pula yang telah
memberikan perlindungan rasa aman pada saat dimana anak-anaknya
tertidur lelap. Serta sentuhan perasaannya itulah yang memberikan
kenyamanan bila saat dia sedang menepuk-nepuk bahu anak-anaknya agar
selalu saling menyayangi & mengasihi sesama saudara.”

“Ku-berikan kebijaksanaan & kemampuan padanya untuk
memberikan pengetahuan padanya untuk memberikan pengetahuan &
menyadarkan, bahwa Istri yang baik adalah Istri yang setia terhadap
Suaminya, Istri yang baik adalah Istri yang senantiasa menemani. &
bersama-sama menghadapi perjalanan hidup baik suka maupun duka,
walaupun seringkali kebijaksanaannya itu akan menguji setiap
kesetiaan yang diberikan kepada Istri, agar tetap berdiri, bertahan,
sejajar & saling melengkapi serta saling menyayangi.”

“Ku-berikan kerutan diwajahnya agar menjadi bukti bahwa Laki-
laki itu senantiasa berusaha sekuat daya pikirnya untuk mencari &
menemukan cara agar keluarganya bisa hidup di dalam keluarga bahagia
& BADANNYA YANG TERBUNGKUK agar dapat membuktikan, bahwa sebagai
laki-laki yang bertanggungjawab terhadap seluruh keluarganya,
senantiasa berusaha mencurahkan sekuat tenaga serta segenap
perasaannya, kekuatannya, keuletannya demi kelangsungan hidup
keluarganya. “

“Ku-berikan Kepada Laki-laki tanggung jawab penuh sebagai
Pemimpin keluarga, sebagai Tiang penyangga, agar dapat dipergunakan
dengan sebaik-baiknya. dan hanya inilah kelebihan yang dimiliki oleh
laki-laki, walaupun sebenarnya tanggung jawab ini adalah Amanah di
Dunia & Akhirat.”

Terbangun anak wanita itu, dan segera dia berlari, berlutut
& berdoa hingga menjelang subuh. Setelah itu dia hampiri bilik
Ayahnya yang sedang berdoa, ketika Ayahnya berdiri anak wanita itu
merengkuh dan mencium telapak tangan Ayanya. ” AKU MENDENGAR &
MERASAKAN BEBANMU, AYAH.”

Dunia ini memiliki banyak keajaiban, segala ciptaan Tuhan yang begitu
agung,
tetapi tak satu pun yang dapat menandingi keindahan tangan Ayah…
With Love
to All Father ” JIKA KAMU MENCINTAI Ayah mu / sekarang merasa
sebagai AYAH KIRIMLAH CERITA INI KEPADA ORANG
LAIN, AGAR SELURUH ORANG DIDUNIA INI DAPAT MENCINTAI DAN MENYAYANGI
AYAHNYA & Dan Mencintai Kita Sebagai Seorang Ayah

“. Note: Berbahagialah yang masih memiliki Ayah. Dan lakukanlah yang
terbaik
untuknya…. ……… ……… ……… …..

Berbahagialah yang merasa sebagai ayah. Dan lakukanlah
yang terbaik
Buat keluarga kita…….. ……… ………

Rabu, 02 Juni 2010

AKU INGIN JADI ORANG BIASA YANG SEDERHANA

Ini bukanlah puisi, tapi sekedar renungan dari gelisahnya hati, tentang harta pinjaman yang Allah titipkan pada kami ..

Apalagi yang harus dicari di dunia, selain mempersiapkan bekal menuju kesana?
Aku takut berlimpahnya harta akan menyilaukan mata dan hatiku.
Takut nyamannya rumah dan kendaraan membuatku tak lagi mampu meletakkan harta di tangan, tapi telah jauh meracuni hatiku.
Dan aku sungguh takut dengan ujian harta ini.

Aku bukan tak ingin kaya.
Juga tak ingin hidup miskin.
Aku hanya ingin memilih selalu hidup sederhana.
Aku ingin menjadi orang biasa.

Biarlah rumah kami begini, apa adanya, asal keluargaku dapat berteduh dan beristirahat, terhindar dari panasnya matahari dan basahnya hujan. Rumah model kampung dan tak mengikuti tren arsitektur terbaru. Tak harus mewah, tak harus terlihat indah dan artistik.

Aku malu pada Rasul yang hanya tidur di atas tikar kasar tiap harinya, sementara di rumahku tersedia kasur spring bed yang kadang terlalu memanjakan penggunanya sehingga terlambat sholat berjamaah.

Aku malu pada Syekh Ali Ghuraisyah, yang hanya menjadikan krak botol minuman yang ditutup sehelai kain lusuh untuk meja dan kursi tamunya. Sementara di rumahku ada beberapa kursi, meskipun kuno dan bukan sofa, yang cukup enak diduduki.

Aku malu pada Usamah Bin Ladin, yang tak memiliki satu buah furnitur pun di rumah keempat istrinya, sementara untuk amal sosial dengan mudah dia akan mengeluarkan cek senilai ratusan juta dollar.

Mereka bukan orang miskin, tapi mereka adalah orang-orang yang memilih untuk hidup sederhana.

Biarlah kendaraan kami biasa saja, sepeda motor yang sudah cukup berumur dan mobil kuno 1990-an yang sudah berkarat di beberapa sisinya. Asal dengan itu telah mampu membantuku beraktivitas dan menghemat banyak hal dalam perjalanan.

Aku malu pada Rasul dan Abu Bakar, yang menempuh perjalanan Makkah-Madinah dengan berjalan kaki, padahal mudah bagi beliau untuk meminta diperjalankan oleh Allah dengan Buraq sekalipun.

Aku malu pada Syekh Hasan Al-Banna & Syaikh Umar Tilmisani, yang lebih memilih naik kereta kelas ekonomi untuk berdakwah di seantero Mesir, meski secara finansial sangat mampu untuk naik kereta kelas di atasnya.

Aku malu pada pemuda Taufiq Wa’i, yang tak mau hanya sekedar naik taxi seperti saran bunda Zainab Al-Ghazali, karena khawatir tak mampu menyikapi fasilitas itu dengan benar.

Biarlah kemana-mana aku ingin naik angkutan umum kelas ekonomi, selagi fisik mampu diajak berkompromi. Bukan naik taxi atau kelas eksekutif. Bukan karena sayang mengeluarkan uang, tapi sungguh bersama orang-orang berbagai tipe di kelas ekonomi itu, banyak pelajaran yang dapat kuambil, dan itu mampu melembutkan hati.

Biarlah aku memiliki baju secukupnya saja, tak harus mengikuti model terbaru. Yang penting masih utuh dipakai dan cukup pantas dilihat orang. Aku takut menjadi penganut paham materialis, berburu berbagai koleksi baju, kerudung, tas, alat tulis, perlengkapan elektronik... bukan karena perlu tapi hanya sekedar ingin.

Aku malu pada khalifah kelima, Umar bn Abdul Aziz, yang setelah menjadi khalifah justru memilih jenis pakaian yang paling kasar dan paling murah pada pedagang yang sama, hingga membat takjub si pedagang karena sebelumnya sang Umar adalah seorang yang sangat memperhatikan penampilan.


Aku bahagia, saat melihat pak NN dengan istri dan ke-6 anaknya yang kecil-kecil dapat berteduh di salah satu rumah kami tanpa bayar sejak 8 tahun lalu. Jujur, melihat kehidupan perekonomian mereka yang makin membaik, kadang tergoda untuk mulai menerapkan prinsip ’profesional’ dengan perjanjian sewa.

Tapi, Astaghfirul-Lah.. kembali kutepis keinginan itu. Mungkin, justru lewat wasilah doa-doa tulus pak NN-lah, Allah selalu memberikan rezki yang berlebih padaku dan keluarga. Ya Rabb, biarkanlah rumah itu menjadi ladang amal pintu pembuka rahmatMu bagi kami.

Aku bahagia, meski piutang-piutang kami untuk berbagai keperluan pada beberapa orang tak kunjung terbayarkan sampai berbilang tahun bahkan berpuluh tahun. Aku pun tak ingat lagi persis jumlah nominalnya. Aku percaya, mereka semua bukan tak mau membayar, tapi belum mampu membayar.

Tentu mereka malu untuk tiap waktu hanya menghubungi lalu mohon maaf dan meminta penangguhan waktu pembayaran. Mereka juga manusia, yang memiliki izzah. Biarlah, mungkin mereka butuh waktu. Mungkin Allah sedang mengajarkan arti ikhlas pada kami. Biarlah, kalau memang ternyata sampai nanti pun tak mampu terbayarkan, Allah yang akan menggantinya dengan yang lebih baik. Insya Allah....

Bahkan, mungkin dari mulut-mulut merekalah, teman-teman yangn membutuhkan itu, meluncur doa-doa ikhlas untuk kami sekeluarga, yang langsung didengar Allah di Arsy sana, hingga Allah berikan kemudahan rizki pada kami.

Aku ingat, salah seorang teman yang sudah cukup lama berhutang sekian juta, demi mengetahui bahwa aku akan menunaikan ibadah haji beberapa tahun lalu, dia mengirim sms: "Semoga hajimu mabrur ya Ning. Jangan lupa aku titip doa, doakan aku agar semua masalahku terangkat, kehidupanku menjadi lebih baik, dan aku dapat segera menunaikan kewajibanku pada kalian yang sudah tertunda sekian tahun.

Aku malu sebetulnya bicara begini. Tapi aku tahu, kalian bisa menerima dengan lapang".
Hiks, sungguh aku terharu dan menetes air mataku membaca sms itu.

Ya Allah, Alhamdulillah
telah Kau berikan rizki padaku dan keluargaku, lebih dari yang kami butuhkan.
telah Kau karuniai aku dengan suami sholeh, yang selalu mengingatkanku tentang amanah harta dan anak.
telah Kau anugerahi aku anak-anak soleh solehah yang mampu menjadi penyejuk hati.
telah Kau berikan padaku ilmu yang mempermudahkanku menjemput rizkiMu

Ya Allah, mudahkanlah kami untuk selalu berbagi, melalui rizki yang Kau titipkan pada kami.

Hindarkan dari hati kami orientasi selalu mencari keuntungan duniawi.
Ijinkan dan biarkanlah sebanyak mungkin orang dapat ikut menikmati rizki ini.
Kami ingin setiap rupiah yang mengalir lewat tangan kami, juga bermanfaat untuk saudara-saudara kami.

Sayup-sayup, kudengar refrain nasyid Antara Dua Cinta-nya Raihan

Tuhan, leraikanlah dunia
yang mendiam di dalam hatiku
karena disitu tidak ku mampu
mengumpul dua cinta
Hanya cintaMu, kuharap tumbuh
diibajai bangkai dunia yang kubunuh ...

Selasa, 01 Juni 2010

Peta Sulawesi Selatan

PANTASKAH KITA BERSIKAP CUWEK & BERPALING MUKA ?

Coba bayangkan.

Suatu hari, seorang kenalan Anda memanggil Anda dari kejauhan. Anda jarang berkomunikasi dengannya, sehingga Anda cukup yakin bahwa dia tidak banyak mengenal siapa diri Anda sebenarnya, namun dengan suatu cara, Anda cukup banyak tahu mengenai dia.

Dari kejauhan, ia memanggil nama Anda. Cukup mengherankan, karena selama ini Anda berpikir ia sudah tidak ingat lagi pada Anda, karena memang jarang berkomunikasi. Selama ini jika bertemu, ia selalu nampak acuh tak acuh, bahkan seringkali tidak menyadari kehadiran Anda. Tapi kali ini dia memanggil nama Anda dengan nyaring sekali dari kejauhan.

Terbit rasa senang dan sedikit tersanjung dalam hati Anda. Ternyata selama ini dia juga memperhatikan Anda. Semua manusia normal pasti merasa senang jika mendapat tambahan teman. Kabar baik untuk hari ini. Maka Anda pun segera menghampirinya. Saking senangnya, Anda setengah berlari mendekati tempatnya berdiri.

Apa dinyana, ketika tiba di depan mukanya, ia langsung nyerocos bagaikan tengah bicara sendirian. Sepertinya ia hanya memanggil Anda untuk meminjam telinga. Ia hanya ingin didengarkan, tanpa peduli pada feedback, tidak juga peduli pada pendapat Anda mengenai apa yang dibicarakannya. Ia bahkan tidak begitu peduli apakah kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya itu tersusun dengan baik sehingga bisa dicerna akal sehat atau tidak. Dia hanya ingin memuntahkan kata-kata, dan telinga Anda dipaksa untuk menelan muntahannya itu.

Komentar? Tidak perlu. Dia tidak memberikan waktu. Pendapat? Tidak relevan. Bukan untuk itu dia memanggil Anda. Sanggahan? Apalagi! Dia bahkan tidak begitu menyadari kehadiran Anda.

Setelah ocehan-ocehannya dikeluarkan dengan sukses, ia langsung berlalu tanpa menoleh lagi. Anda menertawakan diri sendiri yang tadi sempat merasa tersanjung karena ia memanggil nama Anda dengan nyaring.

Bagaimana perasaan Anda jika hal ini terjadi pada Anda? Tersinggung? Terhina? Kesal? Marah? Ingin memukul, atau siap menghujaninya dengan caci-maki? Apa predikat yang akan Anda sematkan padanya: tidak tahu malu, atau kurang asem?

Atau jangan-jangan Anda sendiri pernah berbuat begitu?

* * * * * * *

Shalat itu tiang agama, dan inti shalat adalah doa. Karena itu, kalau tidak berdoa, maka shalat menjadi tiada arti, dan pengakuan kita sebagai Muslim pun menjadi tidak lebih dari sekedar basa-basi belaka. Anda pasti paham bahwa Islam adalah agama yang menghendaki para penganutnya memiliki hubungan yang dekat dengan Allah, sehingga dalam sehari minimal harus ‘bertemu’ dalam shalat sebanyak lima kali. Anda juga pasti paham bahwa Islam memiliki kekhasan tersendiri karena Al-Qur’an menjelaskan dengan sangat tegas bahwa Allah itu dekat; tidak jauh, tidak sulit dijangkau, tidak perlu dipanggil keras-keras, dan tidak perlu perantara untuk menggapai-Nya.

Dari sekian banyak orang yang saya tanya, kebanyakan berpendapat bahwa makna “doa” adalah “meminta”. Ironisnya, tidak banyak yang tahu bahwa kata “doa” dalam bentuk asalnya dalam bahasa Arab berarti “memanggil”. Itulah sebabnya doa yang diajarkan Rasulullah saw. juga berisikan puji-pujian kepada Allah SWT, bukan sekedar permintaan. Puji-pujian itu dihaturkan, selain karena memang wajar dialamatkan kepada Allah, namun juga karena kita menyadari betul bahwa kita telah ‘memanggil/ menyeru’ Allah SWT, sehingga Dia hadir di hadapan kita, dan kita merasa wajar untuk menghaturkan puji-pujian kepada-Nya.

Ada konsep lain dalam agama Islam yang tidak kalah uniknya, yaitu tentang sikap Allah SWT kepada hamba-hamba yang mendekat kepada-Nya. Jika kita melangkah, maka Dia melangkah lebih jauh lagi untuk mendekati kita. Jika kita berjalan, maka Dia akan berlari. Jika kita berlari, maka Dia akan datang dengan kecepatan lebih tinggi lagi. Tentu saja proses ‘saling mendekat’ ini tidak terjadi secara fisik, namun lebih menggambarkan kemesraan hubungan antara Allah SWT dengan hamba-hamba-Nya yang berusaha untuk mendekatkan diri.

Jadi, ketika kita berdoa (baca: menyeru Allah), maka sudah bisa dipastikan bahwa Allah tidak akan bersikap cuek. Jika kita menyebut nama-Nya dengan lirih, maka dijamin Allah akan menjawab seruan itu dengan lantang. Jika kita berusaha menjangkau-Nya, maka Allah pasti lebih jauh jangkauan-Nya.

Karena inti shalat adalah doa, sedangkan doa adalah menyeru kepada Allah, maka takbiratul ihram bisa dianggap sebagai seruan pembuka. Ketika bertakbir, artinya kita tengah menyatakan keinginan kita agar Allah hadir di hadapan kita agar kita bisa berbincang-bincang dengan-Nya. Sekali lagi, ketika seorang hamba menyeru, bisa dipastikan Allah SWT tidak akan cuek bebek.

Ironisnya, kitalah yang seringkali cuek kepada Allah. Ketika Allah sudah hadir di hadapan kita, kita malah nyerocos sendirian, seolah-olah semua kalimat yang meluncur dari lidah kita itu adalah lip service belaka. Serangkaian hapalan yang kita perlakukan bagai basa-basi di hadapan Dia yang kita seru nama-Nya. Dia sudah datang dengan kecepatan tinggi setelah mendengar seruan kita, namun pada akhirnya kita bahkan tidak menganggap kehadiran-Nya. Ini komunikasi atau monolog?

Pada akhirnya, ucapan salam tidak ubahnya seperti membuang muka di hadapan Allah. Kita tidak peduli lagi pada-Nya setelah ‘memuntahkan’ semua hapalan kita, lalu kita berlalu dengan cepat seolah-olah kemesraan itu tidak pernah ada. Allah menawarkan kehangatan, kedekatan, dan ketenangan, namun kita memilih untuk tidak mempedulikan-Nya. Berlalu begitu saja, seperti kemarin, kemarin dulu, dan kemarinnya lagi. Lima kali sehari. Bagaimana perasaan Anda jika diperlakukan seperti demikian sebanyak lima kali sehari? Jawablah sendiri.

Ya Allah, tega nian hamba-Mu ini...

Naluri Ibunda

Pernahkah Anda melihat, seekor induk ayam menerjang siapapun yang berusaha mendekati anak-anaknya ? Atau seekor induk kucing yang lalu menggendong anaknya berpindah tempat, ketika merasa anak-anaknya kurang aman di suatu tempat? Lalu, pernahkah Anda sendiri, seorang ibu, merasakan betapa berat hati Anda meninggalkan anak-anak Anda untuk pergi ke kantor, meninggalkan anak-anak Anda dalam pengasuhan orang lain ?

Semua itu hanya beberapa contoh bentuk insting atau naluri yang telah Allah karuniakan pada makhluk-Nya. Naluri melindungi diri, naluri mempertahankan hidup, lalu seperti contoh yang sudah saya sebutkan, naluri melindungi dan memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Dan Allah tidaklah pernah menciptakan segala sesuatu tanpa maksud dan tujuan, begitu juga dengan naluri. Lalu ketika hati kita meronta karena melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan naluri kita, apakah kita pantas mengabaikannya ?

Itulah dilema yang saya alami , seorang ibu bekerja, dengan satu anak laki-laki usia 6,5 tahun. Saya mengabaikan naluri saya, dalam kurun waktu yang sama dengan usia anak saya saat ini. Diawali ketika saya harus meninggalkannya di tangan seorang pengasuh, ketika harus kembali bekerja setelah cuti melahirkan. Sedih ? Pasti. Merasa bersalah ? Sangat. Tapi saya berhasil mengabaikannya.

Prestasi luar biasa bagi saya, tapi mungkin cuma hal sepele bagi orang lain, wajar kata sebagian orang, ketika harus meninggalkan anak bekerja, karena tuntutan jaman sekarang memang begitu. Lalu saya kembali harus menelan ludah yang terasa pahit, ketika saat anak saya pertama kali bisa duduk, bisa merangkak, bisa berdiri, bisa berjalan, dan bisa bicara saya tidak menyaksikannya sendiri, ibu pengasuhlah yang menceritakan pada saya.

Dan tak terhitung berapa kali saya diam-diam menangis, ketika anak lebih nyaman bermain dengan pengasuhnya, ketika dia sakit tapi ada pekerjaan yang tidak bisa saya tinggalkan, atau ketika saya harus menjalani tugas diluar kota.

Setiap pertentangan batin berhasil saya lewati, paling tidak sampai saat ini, namun saya merasa pertahanan saya tidak sekuat dulu. Perkiraan bahwa semakin bertambah usia anak, dia akan semakin mandiri dan mengurangi ketergantungan terhadap ibunya memang tidak salah. Anak saya tumbuh jadi anak mandiri, cukup cerdas dan dewasa diantara anak seusianya. Tapi apakah semakin dewasa ia semakin tidak membutuhkan ibunya ? Tegas saya jawab, tidak.

Tapi jenis kebutuhannya yang berbeda dan semakin berkembang. Kalau semasa bayi, dia membutuhkan ASI dari ibunya. Lalu ketika batita, dia membutuhkan tangan yang membimbing ketika berjalan, dia membutuhkan seseorang yang mengajarkan kata-kata baru, dia membutuhkan seseorang yang akan setia menjawab ketika dia bertanya, “Apa ini?” atau “Apa itu?”. Di usia pra sekolah, semakin kompleks pertanyaan-pertanyaan yang dia ajukan. Akankan seorang pengasuh bisa menjawab dengan tepat pertanyaan, “Darimana asal adik bayi?” atau “Kenapa langit berwarna biru?”.

Kemudian ketika memasuki usia sekolah, dia butuh seseorang yang akan menguatkan dan membuatnya merasa sekolah adalah tempat yang aman, dan ada seseorang yang menunggu diluar sepulang sekolah. Di usia SD, dia ingin ikut bermacam les seperti teman-temannya, wushu, drum, robotika… dia membutuhkan seseorang yang mengantarnya, dia membutuhkan seseorang yang menemani dia mengaji, dia membutuhkan seseorang yang mengingatkan keutamaan sholat dan ibadah lain, dia membutuhkan teman yang menemaninya belajar tanpa terkantuk-kantuk. Ketika remaja, dia membutuhkan seseorang untuk menumpahkan kesedihan dan keceriaannya di sekolah.

Bahkan ketika sudah mapan, menikah dan mempunyai anak pun, seorang anak tetap membutuhkan ibunya, meski sekedar untuk meminta nasihat dan mencurahkan keluh kesahnya.

Selama ini, saya merasa sudah memenuhi kebutuhan anak saya, meski tidak optimal. Seorang ibu pasti akan memberikan yang terbaik untuk anaknya, bagaimanapun kondisinya. Tapi ketika anak saya membutuhkan banyak hal, sedangkan saya tidak bisa memenuhi kebutuhan itu (kelelahan, banyak pekerjaan, tidak ada waktu), akhirnya saya yang akan meminta pengertiannya, selalu begitu. Dan dia, laki-laki kecil itu akan selalu berusaha bisa mengerti saya, ibunya. Adilkah bila seorang anak yang seharusnya dimengerti justru dikondisikan untuk berusaha mengerti ?

Sebagai perempuan, sudah jelas kewajiban dan amanah saya yang utama, menjadi ibu dan istri. Dan amanah itu, pasti akan Allah mintai pertanggungjawaban kelak. Bagaimana kau mendidik anakmu? Bagaimana kau melayani suamimu ? Dengan bekerja, saya membebankan satu amanah lagi di pundak saya, dan pasti harus saya pertanggungjawabkan pula. Sering saya berfikir, berani-beraninya saya mengambil satu amanah lagi, sementara satu amanah utama saja belum tertunaikan dengan sempurna ? Astaghfirullah…

Rasanya sudah berkali-kali saya menyimpulkan, solusi masalah saya adalah saya harus berhenti bekerja atau mencari alternative pekerjaan lain yang bisa saya kerjakan dari rumah. Suami saya pun mendukung sepenuhnya, bahkan beliau menyatakan lebih tenang bekerja bila saya sendiri yang mengasuh anak di rumah. Tapi saya tidak pernah punya keberanian untuk mewujudkannya, terlalu banyak hal yang saya takutkan. Bagaimana kalau saya bosan, bagaimana mengkondisikan diri yang terbiasa punya uang sendiri lalu harus tergantung pada suami, bagaimana bila terjadi sesuatu dengan suami, bagaimana mencukupi kebutuhan hanya dengan satu gaji, bagaimana dengan keinginan naik haji ?

Begitulah, ketika beberapa kali keinginan berhenti bekerja menguat, yang biasanya diawali tuntutan-tuntutan anak saya, tak berapa lama keinginan itu pun memudar. Titik terang mulai terlihat beberapa minggu ini, saya semakin mantap untuk berhenti bekerja. Satu per satu pertanyaan dan ketakutan saya terjawab. Soal financial, alhamdulillah Allah memudahkan jalan rejeki kami sehingga kami punya rumah dan kendaraan yang layak, Allah telah menghajikan kami, Allah telah mencukupi semua kebutuhan material kami.

Saya berusaha tidak munafik, memang masih banyak sekali keinginan dan kebutuhan lain yang tidak akan habis kami kejar, semua orang pun pasti begitu. Setelah punya rumah pasti ingin punya rumah yang lebih besar, sudah punya mobil pasti ingin mobil yang lebih bagus, sudah berhaji pasti ingin berhaji lagi. Tapi apakah itu tujuan hidup saya ? Soal ketakutan bosan tanpa kegiatan di rumah, pasti bisa disiasati. Banyak kegiatan yang bisa saya ikuti, memperbanyak pengajian, kursus ketrampilan rumah tangga, LSM ?

Lalu bagaimana bila terjadi sesuatu dengan suami ? Masya Allah, saya sungguh malu pernah meragukan ini, bukankah semuanya telah diatur Allah ? Dan bukankah saya pun bisa tetap berusaha menghasilkan uang meskipun tinggal di rumah ? Kemudian perkataan kerabat yang pernah membuat saya kembali berpikir, bukankan kalau kamu bekerja, berarti kesempatan kamu untuk bersedekah lebih besar ? Pertanyaan itupun terjawab, bukankah sebaik-baik sedekah adalah sedekah untuk keluarga terdekat kita, anak-anak kita dan suami kita ?

Bukan berupa uang, tapi keikhlasan kita menyiapkan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Ketika saya mencurahkan kegundahan saya pada seorang sahabat, beliau hanya menjawab dengan kalimat sederhana, “hidup kita semata-mata ibadah, ketika kamu dihadapkan pada dua pilihan yang sama berat, pilihlah yang akan membuat kualitas ibadahmu menjadi lebih baik”. Subhanallah, saya yakin berhenti bekerja adalah yang terbaik bagi saya dan keluarga saya saat ini.

Dan akhirnya satu hal yang semakin memantapkan saya, bagi saya anak adalah investasi akherat saya. Dialah (dan insya Allah adik-adiknya) yang saya harapkan menerangi alam kubur saya dan suami dengan doa-doa dan amalan sholihnya. Dan inilah kesempatan saya sekali seumur hidup, tidak akan terulang, untuk mendidiknya dengan baik sehingga kelak ia akan dewasa menjadi lelaki sholih yang selalu mengingat saya dan suami dalam setiap doanya.

Setelah melalui proses istikhoroh dan membersihkan niat karena Allah semata, saya pun memutuskan berhenti bekerja. Sungguh, keputusan ini bukan keputusan ringan, tapi merupakan keputusan terberat dalam hidup saya. Dan ternyata setelah memutuskan pun, Allah masih menguji kesungguhan saya. Permohonan resign saya belum terkabul dari perusahaan tempat saya bekerja. Tapi saya yakin dan selalu berusaha berbaik sangka, ketika saya benar-benar ikhlas dan berserah pada Allah, pasti Allah akan memudahkan urusan saya. Dan bukankan ketika kita mendapatkan sesuatu melalui proses yang berat, pasti kelak kita akan lebih mensyukurinya ?


**Apa yang saya rasakan mungkin berbeda dengan apa yang dirasakan ibu-ibu lain. Banyak ibu yang bekerja tapi tetap menikmati perannya sebagai ibu maupun sebagai pekerja dan bisa menjalankan kedua amanah itu dengan sama baiknya, salut dan penghargaan saya setinggi-tingginya untuk ibu-ibu yang berdedikasi seperti ini. Ingin saya menjalani seperti itu, tapi ada daya saya merasa tidak cukup mempunyai kekuatan sebesar itu. Hidup adalah pilihan, dan ini pilihan yang saya tempuh. Selalu bersyukur, bersabar, dan menyadari konsekuensi setiap pilihan adalah kunci untuk berbahagia dengan apapun pilihan kita, insya Allah.